Dan kita memaku di sini.
Menerka di balik jendela terbuka.
Berminggu-minggu sudah
Kakek usil itu tak lagi menampakkan muka.
Jasadnya terkubur, memegang erat senyum yang biasa ia tabur.
Ia pernah mengajariku tentang sederhana
Tentang dosa-dosa manusia.
Ia pernah mengajarimu pula.Teman, ia pergi dan damai.
Sayap-sayapnya telah tumbuh sempurna.
Ia terbang bersama doa-doa
Yang kita siram di atas pusara
Segera setelah kepergiannyaKuingat pada tahun-tahun lalu
Si kakek usil itu telah memadamkan api benci kita
Kepada deret-deret algoritma, yang pernah membakar kening-kening kita.Si kake usil itu juga, telah memahat memoar yang melekat di punggungku, punggungmu.
“Matematika itu menyenangkan!” ucapnya duluKini ia tahu, ada yang lebih menyenangkan dari matematikanya.
Ada yang lebih menenangkan daripada pemecahannya;
Migrasi dari dunia yang fana.
Ia telah lepas dari deritaTeman, kuharap kita mati dengan cara yang sama.
Dengan doa, dan Cinta.
Sajak enak. 👏
SukaDisukai oleh 1 orang
Terimakasih, mas 😃
SukaDisukai oleh 2 orang
Rada urban di bait terakhir, nakal tapi sajaknya seksi. 😂
SukaDisukai oleh 2 orang
Nyari klimaks yang enak susah, mas 😂
SukaDisukai oleh 1 orang
Hehehe, klimaks kadang-kadang cuman “bonus” tergantung kekuatan membaca pembacanya.
SukaDisukai oleh 1 orang
Nah, itu dia yang susah. Menyesuaikan dengan pembaca, atau tetap ‘liar’, sambil berharap terkaan pembaca ‘tepat sasaran’ 😁
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya sering Mas, sudah kasih semiotik ini-itu tetapi pembaca belum mampu tangkap. Ini realitas kemampuan membaca para pembaca di Indonesia, diterima sajalah. 😂
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya, mas. Yang penting ‘kegelisahan’ tersalurkan. Itu aja 😂
SukaDisukai oleh 1 orang
Yap, setuju Mas. Bagi “kita” ketika peristiwa subtil mampu diwujudkan menjadi puisi itu sudah sangat cukup.
SukaDisukai oleh 1 orang
😮😮😮 setahu saya puisi itu memang lebih egois dari prosa kok. Kalo biasanya tulisan itu memperhatikan segmen pembaca, nah puisi mah bebas merdeka. Yang penting ikut kaidah perpuisian atau tabrak kaidah sekalian. Atau mau gaya syair Islam yang sarat dengan diksi kontemplatif 😗
SukaDisukai oleh 2 orang
Pembaca-Penulis. Kits berdamai saja! 😜
SukaDisukai oleh 1 orang
😨😨😨 *tengok kiri-kanan. Siapa yang berantem?
SukaSuka
👏
SukaSuka
Untuk sy juga dong. Sy pengajar 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Pengajarnya yang udah meninggal, mas. Itu didedikasikan buat guru saya 😭😭😂😂
SukaDisukai oleh 1 orang
Sukaa 😭
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya juga suka kok, mbak 😳
Wkwkwk ✌
SukaDisukai oleh 1 orang
Sweet 👍
SukaDisukai oleh 1 orang
ahh membuatku tersipu, mbak 😳
SukaDisukai oleh 1 orang
😎
SukaSuka
Kata-renyah 😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Widih Blogwalking dari kaki gunung 😀
SukaDisukai oleh 2 orang
Kini ia tahu, ada yang lebih menyenangkan dari matematikanya.
Ada yang lebih menenangkan daripada pemecahannya;
Migrasi dari dunia yang fana.
Ia telah lepas dari derita.
Dapet banget! Love this piece!
SukaSuka
Love this comment!
Thank you, mbak 😅
SukaSuka
Nggak pernah nemu guru matematika kayak gitu. Seandainya nemu , “the teacher like him is impossible to find again”
SukaSuka
Impossible sih engga, tapi langka, mbak. 😢
SukaSuka